RESOLUSI
JIHAD NU DAN PERANG 4 HARI DI SURABAYA
SEJARAH HARI
SANTRI NASIONAL
HARI SANTRI
KE-5 TAHUN 2020
RESOLUSI
JIHAD NU (22 OKTOBER 1945)
Hari Santri Nasional diperingati
setiap tanggal 22 Oktober dan tahun ini bertepatan dengan besok, Kamis
(22/10/2020). Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun
2015 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015 di Mesjid Istiqlal Jakarta.
Hari Santri Nasional yang ditetapkan
pada tanggal 22 Oktober merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan
yang dibacakan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22
Oktober 1945.
Oleh K Ng H Agus Sunyoto.
Hari ini 71 tahun silam, tepatnya
tanggal 22 Oktober 1945, terjadi peristiwa penting yang merupakan rangkaian
sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Dikatakan penting,
karena hari ini, 71 tahun silam, PBNU yang mengundang konsul-konsul NU di
seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB
ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, berdasar amanat
berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad
mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim
Asy’ari, dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah,
menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi
Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan
melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap
orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi
jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan
moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi,
kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan
sebagian sadja)…” Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad
dari PBNU ini. Dari masjid ke masjid dan dari musholla ke musholla tersiar
seruan jihad yang dengan sukacita disambut penduduk Surabaya yang sepanjang
bulan September sampai Oktober telah meraih kemenangan dalam pertempuran
melawan sisa-sisa tentara Jepang yang menolak tunduk kepada arek-arek Surabaya.
Demikianlah, sejak dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945, Resolusi Jihad membakar
semangat seluruh lapisan rakyat hingga pemimpin di Jawa Timur terutama di
Surabaya, sehingga dengan tegas mereka berani menolak kehadiran Sekutu yang
sudah mendapat ijin dari pemerintah pusat di Jakarta. Sesungguhnya, saat
Resolusi Jihad dikumandangkan oleh PBNU, Perang Dunia II sudah selesai karena
Jepang sudah takluk sejak 15 Agustus 1945. Kedatangan balatentara Inggris ke
Jakarta, Semarang, Surabaya adalah dalam rangka penyelesaian masalah interniran
dan tawanan perang Jepang, yang di dalam prosesnya ditandai oleh maraknya isu
kembalinya pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia dengan membonceng
balatentara Inggris. Sementara pada pekan kedua Oktober 1945, Presiden Soekarno
mengirim utusan khusus ke Pesantren Tebuireng, menemui KH Hasyim Asy’ari, untuk
meminta petunjuk dan arahan guna memecahkan kegundahan hati presiden. Pasalnya,
sampai bulan Oktober ini, belum ada satu pun Negara di dunia yang mengakui
kemerdekaan Indonesia dan mengakui Negara Indonesia, akibat usaha-usaha
pemerintah Belanda yang menyebarkan berita provokatif ke seluruh dunia bahwa
Republik Indonesia yang dipimpin Soekarno dan Hatta, adalah Negara boneka
bikinan Fasisme Jepang. Bagaimana meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia
bukan negara boneka bikinan Fasisme Jepang, melainkan Negara Kebangsaan (Nation
State) yang didukung rakyat seluruhnya. Seruan Resolusi jihad yang
dikumandangkan PBNU dalam keadaan perang sudah berakhir lebih sebulan silam,
dinilai sebagian elit pemimpin Negara di Jakarta sebagai mengada-ada. Bahkan
sehari sesudah Resolusi Jihad diserukan, sepanjang hari sejak pagi tanggal 24
Oktober 1945, Bung Tomo melalui pidatonya menyampaikan pesan kepada arek-arek
Surabaya agar jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di
Surabaya. Sebagai wartawan Bung Tomo sudah mendapat informasi bahwa pasukan
Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, sehingga tanggal 24
Oktober 1945 pagi, Bung Tomo sudah berpidato mengobarkan semangat rakyat
Suranaya, dengan isi pidato sebagai berikut: “Kita ekstrimis dan rakyat,
sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap
gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui!
Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan
kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung
dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki,
dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang
berusaha menjajah kita kembali!” “Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan
dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis,
kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat
Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia
banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi!
Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Suasana panas yang membakar semangat penduduk Kota Surabaya akibat pengaruh
Resolusi Jihad dan pidato yang disampaikan Bung Tomo,
makin memuncak sewaktu
kapal perang Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga Modderlust
Surabaya pada 25 Oktober 1945. Karena tokoh-tokoh Surabaya menolak penurunan
pasukan Inggris ke Surabaya, maka pihak Inggris mengirim Captain Mac Donald dan
Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Bersandarnya HMS Wavenley
sendiri pada dasarnya merupakan hasil perundingan yang sulit, karena sehari
sebelumnya, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust
antara utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL yang diwakili
Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua
permintaan Sekutu ditolak. Pidato Bung Tomo dan jalan buntu perundingan sekutu
dengan TKRL masih ditambah dengan pidato Drg Moestopo pada malam hari jam
20.00, yang menyatakan diri sebagai Menhan RI yang tegas-tegas menolak Sekutu
untuk mendaratkan pasukan dan bahkan menyebut Sekutu sebagai NICA. Sekutu yang
dari laporan intelijennya mengetahui bahwa Drg Moestopo adalah seorang dokter
gigi yang aktif sebagai perwira PETA, membalas pidato lewat pemancar radio dari
kapal yang isinya,”We don’t take any order from anybody, we don’t have the
command of a dental surgeon!” Jawaban Inggris yang bernada humor itu, menunjuk
bahwa pihak Inggris tidak sedikit pun memiliki bayangan bahwa mereka akan
menghadapi pertempuran di Surabaya.
Bahkan pidato Bung Tomo, ketegasan TKRL
menolak permintaan Sekutu untuk mendaratkan pasukan, tindakan Drg Moestopo yang
juga melarang Sekutu mendaratkan pasukan, dianggap aneh oleh hampir seluruh
pemimpin di Jakarta, sebab tindakan itu dinilai tidak sesuai dengan kebijakan
pemerintah pusat di Jakarta dan potensial menyulut konflik berdarah baru. Itu
sebabnya pemerintah mengirim Mr Soedarpo, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr.
Sartono untuk memberitahu Drg Moestopo agar bersedia membiarkan Sekutu
menjalankan tugasnya. Namun Drg Moestopo tidak sedikit pun mengikuti petunjuk
dari para pejabat tinggi Negara itu. Sikap tegas Drg Moestopo baru melunak
setelah pagi hari tanggal 25 Oktober 1945 ia ditelpon langsung oleh Presiden
Soekarno dan diperintah agar tidak menembak Sekutu. Presiden Soekarno
mengingatkan bahwa sebagai perwira mantan didikan PETA, Drg Moestopo harus
patuh kepada presidennya. Tanggal 25 Oktober 1945 itulah HMS Wavenley bersandar
di dermaga Modderlust dan mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan
Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh
sambil berunding, Sekutu memanfaatkan kunjungan gubernur untuk melihat tawanan
di Kalisosok dengan mendaratkan pasukan secara besar-besaran.
Tindakan ini
mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara Drg Moestopo
dengan Kolonel Pugh. Hasilnya, pasukan Sekutu berhenti pada garis batas 800
meter dari pantai ke arah kota. Sekali pun pasukan sekutu berada di garis batas
800 meter dari pantai ke arah kota, namun pasukan yang diturunkan dari kapal
jumlahnya sekitar 2800 personil dari Brigade ke-349 Mahratta yang dilengkapi
dengan persenjataan perang modern. Tindakan para pemimpin dan rakyat Jawa Timur
untuk tegas menolak pendaratan pasukan Sekutu yang menjalankan tugas mengurusi
interniran dan tawanan perang Jepang yang terlihat dari pidato Bung Tomo,
Pidato Drg Moestopo dan sikap TKRL yang mengejutkan para pemimpin di Jakarta
dalam kaitan dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan PBNU, tidak banyak
diungkap dalam kajian sejarah modern di sekolah. Namun dengan memahami situasi
dan kondisi waktu itu berdasar kesaksian para pelaku sejarah – yang saat ini
sudah banyak yang meninggal dunia – tidak bisa ditafsirkan lain kecuali akibat
momentum sejarah yang terjadi saat itu yang mempengaruhi cara pandang dan
keberhasilan pengobaran semangat rakyat dan pemimpin-pemimpin Jawa Timur oleh
usaha sistematis untuk memicu pecahnya konflik besar. Dan momentum sejarah itu,
tidak lain dan tidak bukan adalah dimaklumkannya Resolusi Jihad oleh PBNU
tanggal 22 Oktober 1945. Sementara itu, setelah mendaratkan pasukan Brigade
ke-49 Mahratta dari HMS Wavenley,
pagi hari tanggal 26 Oktober 1945 diadakan
perundingan antara pihak RI yang diwakili oleh Wakil Gubernur Soedirman, Ketua
KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan wakil Drg Moestopo, Jenderal
Mayor Muhammad dengan pihak Sekutu yang diwakili A.W.S. Mallaby beserta staf.
Hasil perundingan, pasukan sekutu dalam menjalankan tugas mengevakuasi tawanan
Jepang dan interniran Belanda diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di
dalam kota. Markas Brigade ke-49 Mahratta ditetapkan di Jalan Kayoon. Namun
persetujuan menggunakan beberapa bangunan itu digunakan secara curang, di mana
Sekutu justru membangun pos-pos pertahanan yang menebar di berbagai tempat dari
kawasan pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota. Di antara pos-pos
pertahanan Sekutu yang diperkuat senapan mesin adalah yang di Benteng Miring,
gedung sekolah al-Irsyad di Ampel, gedung Internatio, pabrik Palmboom, gedung
Lindeteves, gedung Onderlingblang, jalan Gemblongan, sekolah HBS (SMA Kompleks
Wijayakusuma-pen), Rumah Sakit Darmo, Gubeng, Dinoyo, pabrik Colibri, gudang
BAT, Wonokromo, Don Bosco, dll. Mendapati tindakan Sekutu membangun pos-pos
pertahanan, Kolonel Jono Sewojo mendatangi Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby dan
memprotes tindakan tidak jujur itu. Tapi dengan alasan untuk pertahanan diri
dan melancarkan tugas-tugas yang dijalankan pasukan sekutu, pos-pos pertahanan
memang penting dibuat. Kolonel Jono Sewojo yang perwira didikan PETA yang
mengetahui bahwa pembangunan pos-pos pertahanan yang tersebar itu adalah bagian
dari strategi pertahanan kota dengan tegas mengingatkan Mallaby tentang
kemungkinan pecahnya pertempuran di Surabaya dengan keberadaan pos-pos
pertahanan Sekutu itu.
Ketika Mallaby bersikukuh dengan keputusannya untuk
mempertahankan keberadaan pos-pos pertahanan itu, Kolonel Jono Sewojo dengan
marah berdiri menunjuk muka Mallaby sambil berkata,”I remind you. If you shoot
me, I shoot you back!” Ternyata bukan hanya Kolonel Jono Sewojo selaku kepala
staf TKR Jawa Timur yang marah terhadap tindakan Sekutu yang di luar
kesepakatan dengan pihak RI telah membangun pos-pos pertahanan , arek-arek
Surabaya terutama para pemuda Islam yang terbakar seruan jihad fi sabilillah
sangat marah. Kasak-kusuk menyebar bahwa pos-pos pertahanan yang dibangun
Sekutu itu sebagai usaha untuk penjajah Inggris untuk memperkuat kembali
kekuasaan kolonial Belanda dengan menggunakan bantuan pasukan Sekutu. Tanpa ada
yang mengomando, sejak sore hari ratusan santri keluar pondok bersama
pemuda-pemuda kampung di kawasan utara Surabaya keluar ke jalanan menuju
pos-pos pertahanan Sekutu. Sekitar jam 16.00 tanggal 26 Oktober 1945, tanpa ada
yang mengomando, dengan didahului teriakan Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu
Akbar! beratus-ratus santri tua dan muda beserta pemuda-pemuda dari
kampung-kampung di Surabaya utara seperti Ampel, Sukadana, Boto Putih, Pekulen,
Pegirikan, Sawah Pulo dipimpin Ahyat Cholil, kader Anshoru Nahdlatul Oelama
(ANO) yang aktif di Hisbullah, beramai-ramai menyerang pos pertahanan Sekutu di
Benteng Miring di sebelah utara gedung sekolah Al-Irsyad. Ketika iring-iringan
santri dan pemuda dari berbagai kampung itu sudah berada di lapangan sekolah
al-Irsyad yang membentang di depan gedung sekolah al-Irsyad, pasukan Sekutu
melepas tembakan. Puluhan orang tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Namun
diselingi teriakan Allahu Akbar! yang sambung-menyambung, beratus-ratus santri
dan pemuda kampung itu terus menyerbu sambil mengacungkan bambu runcing,
clurit, keris, tombak, samurai, dan senapan rampasan. Lalu seiring berhembusnya
kabar tentang gugurnya sejumlah santri dan pemuda akibat ditembaki Sekutu,
penduduk kampung beramai-ramai keluar dengan membawa aneka macam senjata. Dalam
tempo singkat, gedung sekolah Al-Irsyad yang dijadikan markas tentara Brigade
49 Mahratta yang disebut penduduk sebagai “Gurkha” itu dikepung ribuan penduduk.
Tembak-menembak berlangsung sampai malam hari. Santri dan pemuda yang tidak
membawa senjata membalas tembakan tentara “Gurkha” dengan lemparan batu. Di
tengah hiruk tembak-menembak di Sekolah Al-Irsyad yang terkepung, diam-diam
satu peleton pasukan Sekutu yang dipimpin Kapten Shaw dari pangkalan Inggris di
Ujung menerobos masuk ke Reineer Boulevard.
Pasukan ini adalah pasukan elit
Inggris yang berusaha membebaskan Kapten Huijer, Kapten Groom dan Mayor Finley
yang ditawan TKR sejak mereka tertangkap di Kertosono. Terjadi tembak-menembak
antara pasukan Sekutu ini dengan para pengawal tawanan. Penduduk kampung
Surabaya yang sudah siaga perang, begitu mendengar letusan senjata langsung
berbondong-bondong ke Reineer Boulevard dan menyerang pasukan Sekutu. Dalam
waktu singkat truk dan jep yang dinaiki pasukan Sekutu dibakar. Kapten Shaw dan
prajuritnya lari tunggang-langgang dan dengan sisa kendaraannya pergi menuju
pelabuhan. Beberapa orang di antara prajurit Sekutu tertembak tetapi berhasil
diangkut ke kapal yang bersandar di pelabuhan. Arek-arek Surabaya yang
rata-rata memiliki keahlian di bidang teknik dan perbengkelan mengetahui bahwa
pertempuran melawan Sekutu tidak akan terhindarkan meski pihak penduduk kalah
persenjataan. Itu sebabnya, sejak sore hari arek-arek Surabaya sudah bergerak
sendiri dengan inisiatif sendiri-sendiri untuk memadamkan listrik kota, memutus
jaringan telepon, menutup saluran air ledeng, dan menghentikan pasokan gas
dalam kota. Menurut Mayor Jenderal Soengkono panglima pertempuran Surabaya yang
mencatat bahwa tanggal 26 Oktober 1945 itu ditandai pecahnya pertempuran awal
di Surabaya utara, yang membuat seluruh kota tenggelam dalam kegelapan malam
yang tanpa lampu, tanpa air minum, tanpa telepon, tanpa gas, bahkan tanpa
pasokan makanan karena seluruh jalanan kota sudah tertutup barikade-barikade
yang dibikin penduduk. Pagi hari tanggal 27 Oktober 1945 kota Surabaya gemetar
diguncang kemarahan, sebab di tengah beredarnya kabar gugurnya santri dan
pemuda yang mengepung pos pertahanan Sekutu di Sekolah Al-Irsyad beredar pula
kabar bahwa Sekutu diam-diam mendaratkan lebih banyak pasukan ke Surabaya untuk
memperkuat pos-pos pertahanannya. Penyerangan penduduk kampung terhasdap pos
pertahanan di sekolah Al-Irsyad ditangkap pihak Sekutu sebagai tengara bakal
pecahnya pertempuran dalam skala yang lebih besar. Itu sebabnya bala bantuan
didatangkan untuk memperkuat pos-pos pertahanan yang tersebar di sejumlah
kawasan strategis kota Surabaya. Dan warga kampung mulai memasang
barikade-barikade di gerbang masuk kampungnya dengan kayu, bambu, drum, meja,
kursi, ban, gedek, kawat, dll. Kira-kira jam 09.00 di atas langit Surabaya
melayang-layang pesawat militer jenis Dakota dari Jakarta menebarkan ribuan
selebaran yang ditanda-tangani Mayor Jenderal D.C.Hawthorn yang berisi perintah
kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan
Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada
orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tentang peristiwa
pesawat Dakota yang menyebarkan selebaran berisi ancaman itu, Christopher Bayiy
dan Tim Harper dalam Forgotten Wars, the end of Brittain’s Asian Empire,
mengungkapnya sebagai berikut: “On 27 September, there was an ill-advised
airdrop of leaflets, demanding that the Indonesians surrender their arms within
forty-eight hours or be shot. This was made without Mallaby's knowledge, and in
contravention of local agreement, but it now had to be enforce. This was seen
by the Indonesians as base of threachery. There were now convinced that the
British were preparing to reoccupy the city for the Dutch."
Ancaman Sekutu
yang ditanda-tangani Mayor Jenderal D.G.Hawthorn itu disambut caci-maki dan
tantangan oleh penduduk Surabaya. Suasana makin tegang. Di tengah ketegangan
itu, tiba-tiba muncul kelompok-kelompok pasukan Brigade 49 Mahratta bergerak ke
jalan raya utama Surabaya, melewati kantor Gubernuran sambil menempelkan
selebaran-selebaran sepanjang jalan yang mereka lewati. Tindakan pasukan
Inggris-India ini menyulut amarah para pemimpin dan seluruh penduduk Surabaya.
Kira-kira jam 12.00 pecah pertempuran di depan Rumah Sakit Darmo yang dalam
sekejap diikuti pertempuran di semua pos pertahanan Inggris di Keputran,
Kayoon, Gubeng, Simpang, Ketabang, Kompleks HBS, Gemblongan, Dinoyo, Wonokromo,
Palmboom, Lindeteves, Onderlingbelang, Benteng Miring. Sebagaimana pertempuran
sehari sebelumnya, perang “keroyokan” itu murni perkelahian missal yang disebut
tawuran, di mana tidak ada pemimpin dan tidak ada taktik maupun strategi apa
pun yang ditunjukkan penduduk. Tentara Inggris Brigade ke-49 Mahratta yang
sudah berpengalaman di medan tempur Burma dan bahkan el-Alamein di Mesir itu,
kebingungan menghadapi pertempuran dengan model tawuran dari kawanan
orang-orang nekad yang tidak tahu mati. Tanggal 28 Oktober 1945, TKR sebagai
aparat pertahanan dan keamanan Negara yang harus tunduk dan patuh pada perintah
pemerintah pusat di Jakarta, ternyata terprovokasi perlawanan arek-arek
Surabaya, sehingga tanpa sadar ikut bertempur mengepung dan memburu tentara
Inggris. Oleh karena sebagian besar TKR adalah didikan PETA, Heiho dan
Hisbullah, jumlah tentara Inggris yang tewas pun dengan cepat bertambah.
Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby yang menyaksikan pasukannya akan habis,
buru-buru menghubungi atasannya: Jenderal Christison di Singapura. Mallaby
minta agar dilakukan gencatan senjata, penghentian tembak-menembak. Tanggal 29
Oktober 1945, presiden Soekarno dan wakil presiden Moch. Hatta serta Menhan
Amir Sjarifuddin datang ke Surabaya. Tanggal 30 Oktober 1945, gencatan senjata
dicapai tetapi butuh sosialisasi karena komunikasi terbatas dengan akibat masih
taksi tembak-menembak di berbagai tempat di Surabaya. Malangnya, sore hari
dalam usaha sosialisasi gencatan senjata, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby
tewas digranat. Inggris marah sekali mendapati jenderalnya tewas justru saat
perang sudah selesai. Lebih marah lagi, yang menghancurkan pasukan Inggris
beserta jenderalnya itu adalah inlander bodoh yang lemah dan terjajah ratusan
tahun oleh Belanda. Begitulah, Mayor Jenderal E.C.Mansergh, pada 31 Oktober
1945 melontakan ultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan pembunuh Mallaby dan
semua orang-orang liar yang bersenjata menyerahkan senjata kepada pasukan
Inggris. Jika ultimatum tidak dijalankan, maka pada 10 November 1945 jam 10.00
Kota Surabaya akan dibombardir dari darat, laut dan udara. Mayor Jenderal
E.C.Mansergh menghitung, kota Surabaya akan jatuh dan takluk dalam tempo tiga
hari. Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William
H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif -- yang
tiga minggu di antaranya – sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan
pihak Sekutu maupun Indonesia.
Dugaan Mayor Jenderal E.C.Mansergh bahwa kota
Surabaya bakal jatuh dalam tiga hari meleset, karena arek-arek Surabaya baru
mundur ke luar kota setelah bertempur 100 hari. Sementara ditinjau dari
kronologi kesejarahan, Pertempuran Surabaya pada dasarnya adalah kelanjutan
dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26 – 27 – 28 – 29 Oktober 1945,
yaitu sebuah Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando
Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya
yang berlangsung sangat brutal dan ganas, dengan kesudahan sekitar 2300 orang
-- 2000 orang di antaranya pasukan Brigade ke-49 termasuk Brigadir Jenderal
A.W.S. Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945 – tewas dalam
pertempuran man to man itu. Dan Perang Rakyat Empat hari pada 26-27-28-29
Oktober 1945 itu terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang
dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
K Ng H Agus Sunyoto, sejarawan,
Ketua Lesbumi PBNU.
Hari Santri Nasional
diperingati setiap tanggal 22 Oktober dan tahun ini bertepatan dengan
besok, Kamis (22/10/2020).
Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015
yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015 di Mesjid Istiqlal Jakarta.
Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober merujuk
pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh pahlawan
nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad)
melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik
Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan.
Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang perang dunia II
untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang.
Sejarah Hari Santri Nasional
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kota Pariaman, Hari Santri Nasional
tidak hanya merujuk pada komunitas tertentu, tetapi merujuk mereka yang
dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya
terpancar kalimat La ilaaha illa Allah.
22 Oktober 1945 dianggap sebagai resolusi jihad di mana santri dan ulama
bersatu serta berkorban untuk mempertahankan Indonesia.
Saat itu Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar
Nadhlatul Ulama (PBNU) menetapkan resolusi jihad melawan pasukan
kolonial di Surabaya, Jawa Timur.
Dan kondisi tersebut terlihat pada 21 dan 22 Oktober 1945 di saat
pengurus NU Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya.
Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyatakan sikap setelah mendengar
tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng
sekutu.
Lewat Resolusi Jihad, kaum santri memohon dengan sangat kepada
Pemerintah Republik Indonesia agar menentukan suatu sikap dan tindakan
yang nyata terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan,
agama dan Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.
Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia
dan resolusi ini membawa pengaruh yang besar. Bahkan, ada dampak besar
setelah Hasyim Asy'ari menyerukan resolusi ini.
Hal ini kemudian membuat rakyat dan santri melakukan perlawanan sengit
dalam pertempuran di Surabaya. Banyak santri dan massa yang aktif
terlibat dalam pertempuran ini.
Perlawanan rakyat dan kalangan santri ini kemudian membuat semangat
pemuda Surabaya dan Bung Tomo turut terbakar.
Hingga akhirnya perjuangan tersebut menewaskan pemimpin Sekutu Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung pada 27-29 Oktober
1945. Hal inilah yang memicu pertempuran 10 November 1945.
Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Hari Santri Nasional 22 Oktober dan Tema Tahun 2020", https://tirto.id/f6by Hari Santri Nasional
diperingati setiap tanggal 22 Oktober dan tahun ini bertepatan dengan
besok, Kamis (22/10/2020).
Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015
yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015 di Mesjid Istiqlal Jakarta.
Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober merujuk
pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh pahlawan
nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad)
melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik
Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan.
Sekutu ini maksudnya adalah Inggris sebagai pemenang perang dunia II
untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang.
Sejarah Hari Santri Nasional
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kota Pariaman, Hari Santri Nasional
tidak hanya merujuk pada komunitas tertentu, tetapi merujuk mereka yang
dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya
terpancar kalimat La ilaaha illa Allah.
22 Oktober 1945 dianggap sebagai resolusi jihad di mana santri dan ulama
bersatu serta berkorban untuk mempertahankan Indonesia.
Saat itu Hasyim Asy’ari yang menjabat sebagai Rais Akbar Pengurus Besar
Nadhlatul Ulama (PBNU) menetapkan resolusi jihad melawan pasukan
kolonial di Surabaya, Jawa Timur.
Dan kondisi tersebut terlihat pada 21 dan 22 Oktober 1945 di saat
pengurus NU Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya.
Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyatakan sikap setelah mendengar
tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng
sekutu.
Lewat Resolusi Jihad, kaum santri memohon dengan sangat kepada
Pemerintah Republik Indonesia agar menentukan suatu sikap dan tindakan
yang nyata terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan,
agama dan Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.
Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia
dan resolusi ini membawa pengaruh yang besar. Bahkan, ada dampak besar
setelah Hasyim Asy'ari menyerukan resolusi ini.
Hal ini kemudian membuat rakyat dan santri melakukan perlawanan sengit
dalam pertempuran di Surabaya. Banyak santri dan massa yang aktif
terlibat dalam pertempuran ini.
Perlawanan rakyat dan kalangan santri ini kemudian membuat semangat
pemuda Surabaya dan Bung Tomo turut terbakar.
Hingga akhirnya perjuangan tersebut menewaskan pemimpin Sekutu Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung pada 27-29 Oktober
1945. Hal inilah yang memicu pertempuran 10 November 1945.
Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Hari Santri Nasional 22 Oktober dan Tema Tahun 2020", https://tirto.id/f6by